Anan
berjalan menyusuri jalan gang sempit menuju rumahnya. Hujan gerimis terus turun
membasahi kerudung dan jaketnya. Anan masih terus berjalan sambil memeluk
tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, dia ingin segera sampai ke rumah agar
bisa segera beristirahat karena tubuhnya sudah cukup lelah menjalani seluruh
aktivitas di sekolah.
Anan
menghentikan langkahnya didekat sebuah lapangan kecil yang sangat sepi, dan
sedikit terperangah melihat kejadian di depannya. Anan
menatap lelaki berjas hitam yang sedikit berantakan karena sehabis berkelahi.
Tangannya memegang sebilah pisau yang berlumuran dengan darah. Pandangannya
mengarah pada sosok pria yang sudah terkapar di tanah bersimbah darah karena
luka tusukan di beberapa bagian tubuhnya, dan dia mati.
Lelaki
tampan itu tidak menyadari kehadiran Anan yang menatapnya dari belakang. Dia
kembali menusukan pisaunya kedada pria itu tanpa belas kasihan.
"Rasakan
itu!" katanya, sambil mencabut pisau dari dada pria itu. Kemudian dia
membalikan tubuhnya dan mata birunya langsung bertatapan dengan Anan yang
berdiri di belakangnya.
"Oh...
ada orang rupanya." gumam lelaki tampan itu dengan
nada terkejut yang di buat-buat. "Sedang apa kau disini?" tanyanya
dengan senyuman kejam di sudut bibirnya. Dia bertingkah seperti seekor serigala
yang mempermainkan dahulu mangsanya sebelum melahapnya bulat-bulat.
Anan
menatap lurus lelaki itu, tak menghiraukan apa yang di katakannya. "Kau
membunuhnya?" tanya Anan datar, tidak ada ketakutan yang terbesit di dalam
suaranya.
Lelaki
itu tersenyum mengangkat kedua bahunya tidak peduli, "Dia pantas mati." jawabnya.
Anan
terus menatap lelaki di depannya datar, namun sedikit senyum menyungging di
sudut bibirnya. "Darimana kau menyimpulkan bahwa dia pantas mati? Dan
kenapa kau membunuhnya?"
Lelaki
itu terkekeh lalu balas menatap Anan dengan mata birunya yang tajam dan kejam.
"Karena dia sudah tidak berguna lagi di dunia ini," jawabnya, kemudian dia
mendesah keras seperti melepaskan seluruh bebannya. "Tadi dia mencoba
merampokku dengan pisaunya. Berarti dia juga harus mati dengan pisaunya
sendiri. Dia pantas mati bukan?"
Anan
terkekeh, pandangannya tidak lepas dari lelaki di depannya. "Dan apakah
kau pantas hidup?" tatapannya seketika berubah tajam. "Kau bilang dia
pantas mati karena telah mencoba merampokmu. Dan kau sendiri telah membunuhnya,
bukan mencoba membunuhnya. Apakah itu berarti kau pantas hidup?"
Lelaki
itu mengangkat alisnya, terkejut dengan apa yang di katakan gadis di depannya.
Dia mengamati gadis di depannya dari atas sampai ke bawah. Sangat jauh dari
penampilannya yang anggun dan terkesan lemah lembut, dan kerudung yang di
gunakannya itu menandakan bahwa dia dari keluarga baik-baik.
Anan
menunggu jawaban yang akan di lontarkan lelaki itu. Namun cukup lama, lelaki
itu tak bersuara. Dia hanya menatap Anan menilai kemudian tertawa kencang.
Lelaki
itu tertawa keras tanpa sebab. Membuat Anan sedikit bingung, namun untung saja
dia dapat menyembunyikan kebingungannya.
"Kau
sangat pemberani." Seru lelaki itu di sela tawanya.
Anan
mengangkat alisnya, "Apa?"
Kemudian
lelaki itu menghentikan tawanya lalu tersenyum kepada Anan. "Kau sangat
pemberani, gadis manis." ulang
lelaki itu. "Tetapi sayangnya aku juga harus menghabisimu, karena aku
tidak ingin ada saksi dalam kejadian ini."
Anan
tersenyum menatap lelaki di hadapannya, "Lakukan apa yang kau mau selagi
kau bisa melakukannya"
Lelaki
itu mengangkat sebelah alisnya "Kau tidak takut mati, manis?" lelaki
itu mulai berjalan mengelilingi Anan sambil memainkan sebilah pisau yang tadi
di gunakannya untuk membunuh pria perampok itu.
"Tidak."
"Wow...
kau benar-benar pemberani."
lelaki itu menghentikan langkahnya, lalu berdiri di depan Anan sambil
menatapnya."Apa yang membuatmu tidak takut mati?"
Anan
tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke langit gelap "Karena aku tahu semua yang
bernapas pasti akan mati" Dia kembali mengalihkan pandangannya pada lelaki
di depannya "Dan kita juga pasti akan mengalaminya."
"Dan
kau tahu? Mungkin
sekaranglah saatnya untukmu mengalaminya." Lelaki itu tersenyum kejam,
matanya menelusuri setiap inchi tubuh Anan seakan menerka bagian tubuh mana
yang akan di lukainya.
"Mungkin."
Anan menghela napas,
"Hanya Allah yang tahu kapan aku harus mati, dan hanya Dialah yang
memutuskan."
"Baiklah
kalau begitu. Kau ingin aku melukaimu dimana gadis manis? Aku sarankan di
tempat yang membuatmu bisa langsung mati, sehingga kau tidak akan merasakan
rasa sakit terlalu lama." Lelaki
itu mendekatkan pisaunya pada wajah Anan. Anan tidak bereaksi sama sekali, tidak
ada ketakutan di matanya yang coklat bening, dan wajahnya pun tidak pucat
seperti orang yang ketakutan.
"Apa
yang kau lihat?" tanya
lelaki itu penasaran dengan sikap Anan yang terus memandangi wajahnya.
"Kau
terluka."
"Apa?"
lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Kemudian dia seolah tersadar lalu
mengusap keningnya. Ada sebuah luka goresan kecil di keningnya sehingga
keningnya sedikit kotor oleh darah. "Hanya luka kecil. Bahkan sangat kecil
bagiku."
Anan
mengeluarkan sebuah plester dari dalam saku seragam sekolahnya yang
selalu dibawanya kemana pun dia pergi. Anan menyodorkan plesternya pada lelaki
itu.
"Ini
bisa kau gunakan untuk menutupi luka di keningmu. Aku lihat lukanya tidak
terlalu lebar dan tidak dalam jadi bisa di tutupi dengan ini." Anan
menggoyangkan tangannya agar lelaki itu mau menerima plester yang di
berikannya.
Lelaki
itu mengerutkan keningnya, menatap Anan heran. Tapi lelaki itu menerima plester
pemberian Anan.
"Dan
luka di lengan kirimu juga harus segera di balut agar darahnya tidak terus
keluar. Kau bisa tidak sadarkan diri karena kehabisan darah." Anan
mengeluarkan sebuah kain warna putih berbentuk segitiga dari saku rok
sekolahnya. Dia melipat kain itu menjadi lipatan panjang.
"Apa
yang akan kau lakukan?" Tanya
lelaki itu bingung dengan yang dilakukan Anan.
"Membalut
lukamu." jawabnya tanpa menatap lelaki itu. "Sini lenganmu!"
Anan mengulurkan tangannya kearah lelaki itu yang menatapnya kebingungan.
Lelaki itu mengulurkan tangannya kearah Anan.
"Oh
ya... lepaskan dahulu jas yang kau pakai!"
Lelaki
itu menuruti apa yang diperintahkan Anan kepadanya seolah terhipnotis oleh
perkataannya. Lelaki
itu melepas jasnya dan memegangnya di tangan kanannya. Anan segera membalut
luka lelaki itu. Lelaki itu terus memperhatikan gerakan Anan yang begitu ahli.
Ada sedikit rasa kagum di mata birunya. Lelaki itu meringis ketika Anan menarik
kainnya untuk diikat.
"Maaf." Anan merapikan ikatannya
lalu menjauhkan tubuhnya dari lelaki itu.
Lelaki
itu menatap hasil balutan Anan di tangannya. Dia mengangkat bahunya lalu
tersenyum kepada Anan, "Lumayan" katanya. Kemudian dia
mengerutkan keningnya "Sepertinya aku berubah pikiran."
Anan
mengangkat alisnya "Maksudmu?"
Lelaki
itu tersenyum "Aku membatalkan rencanaku untuk menghabisimu. "
"Kenapa?"
tanya Anan datar, wajahnya tetap dingin.
"Karena
kau masih pantas hidup."
"Siapa
namamu?" tanya lelaki itu.
Anan
menatap lelaki itu curiga.
"Kau
pasti memiliki nama bukan?" tambahnya.
Anan
terdiam menatap lelaki itu, tidak ada jawaban darinya selama beberapa saat.
Sehingga membuat lelaki itu mengangkat bahunya.
"Jika
kau tidak ingin mengatakan namamu, tidak apa. Aku bisa mencari tahunya
sendiri." katanya, "Dan itu berarti aku harus......"
"Anan."
ucap Anan memotong lelaki itu, "Namaku Anandia Nasri"
Lelaki
itu tersenyum, merasa puas atas jawaban Anan. Dia menatap Anan lekat, "Dan
namaku Rayyan Calief. Kau bisa memanggilku Rayyan."
Rayyan
menghembuskan napas panjang. "Aku harus pergi, Anan" Dia menegakkan
tubuhnya, lalu menatap Anan tepat di matanya. Mata coklat itu balik menatap
matanya yang biru. "Sampai bertemu lagi. Dan saat kita bertemu lagi nanti,
aku akan pastikan semuanya berubah." ucapan itu bagaikan sebuah janji dari
kegelapan yang pasti akan terjadi. Hingga terngiang di telinganya dan menembus
hatinya yang membuatnya terperanjat dan bangun dari tidurnya.
Anan
terduduk di atas tempat tidurnya, napasnya
sedikit terengah dan memburu.
Kenapa
kejadian itu terus muncul di mimpinya?
Sudah
satu minggu ini Anan terus memimpikan kejadian yang dialaminya minggu lalu. Dia
tidak tahu kenapa kejadian itu terus muncul di mimpinya. Padahal dia sudah
berusaha melupakan kejadian itu. Apa mungkin kata-kata Rayyan yang membuatnya
selalu memimpikan kejadian itu? Memang apa yang akan berubah dari semuanya? Dia
saja belum tentu akan bertemu lagi dengannya.Semua ini membuatnya bingung dan
frustasi. Anan menggaruk kepalanya bingung.
"Rayyan
Calief?" gumamnya pelan, "Siapa dia?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar