Kamis, 24 Mei 2018

Cahaya di Kegelapan - PROLOG


Anan berjalan menyusuri jalan gang sempit menuju rumahnya. Hujan gerimis terus turun membasahi kerudung dan jaketnya. Anan masih terus berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, dia ingin segera sampai ke rumah agar bisa segera beristirahat karena tubuhnya sudah cukup lelah menjalani seluruh aktivitas di sekolah.

Anan menghentikan langkahnya didekat sebuah lapangan kecil yang sangat sepi, dan sedikit terperangah melihat kejadian di depannya. Anan menatap lelaki berjas hitam yang sedikit berantakan karena sehabis berkelahi. Tangannya memegang sebilah pisau yang berlumuran dengan darah. Pandangannya mengarah pada sosok pria yang sudah terkapar di tanah bersimbah darah karena luka tusukan di beberapa bagian tubuhnya, dan dia mati.

Lelaki tampan itu tidak menyadari kehadiran Anan yang menatapnya dari belakang. Dia kembali menusukan pisaunya kedada pria itu tanpa belas kasihan.

"Rasakan itu!" katanya, sambil mencabut pisau dari dada pria itu. Kemudian dia membalikan tubuhnya dan mata birunya langsung bertatapan dengan Anan yang berdiri di belakangnya.

"Oh... ada orang rupanya." gumam lelaki tampan itu dengan nada terkejut yang di buat-buat. "Sedang apa kau disini?" tanyanya dengan senyuman kejam di sudut bibirnya. Dia bertingkah seperti seekor serigala yang mempermainkan dahulu mangsanya sebelum melahapnya bulat-bulat.

Anan menatap lurus lelaki itu, tak menghiraukan apa yang di katakannya. "Kau membunuhnya?" tanya Anan datar, tidak ada ketakutan yang terbesit di dalam suaranya.

Lelaki itu tersenyum mengangkat kedua bahunya tidak peduli, "Dia pantas mati." jawabnya.

Anan terus menatap lelaki di depannya datar, namun sedikit senyum menyungging di sudut bibirnya. "Darimana kau menyimpulkan bahwa dia pantas mati? Dan kenapa kau membunuhnya?"

Lelaki itu terkekeh lalu balas menatap Anan dengan mata birunya yang tajam dan kejam. "Karena dia sudah tidak berguna lagi di dunia ini," jawabnya, kemudian dia mendesah keras seperti melepaskan seluruh bebannya. "Tadi dia mencoba merampokku dengan pisaunya. Berarti dia juga harus mati dengan pisaunya sendiri. Dia pantas mati bukan?"

Anan terkekeh, pandangannya tidak lepas dari lelaki di depannya. "Dan apakah kau pantas hidup?" tatapannya seketika berubah tajam. "Kau bilang dia pantas mati karena telah mencoba merampokmu. Dan kau sendiri telah membunuhnya, bukan mencoba membunuhnya.  Apakah itu berarti kau pantas hidup?"

Lelaki itu mengangkat alisnya, terkejut dengan apa yang di katakan gadis di depannya. Dia mengamati gadis di depannya dari atas sampai ke bawah. Sangat jauh dari penampilannya yang anggun dan terkesan lemah lembut, dan kerudung yang di gunakannya itu menandakan bahwa dia dari keluarga baik-baik.
Anan menunggu jawaban yang akan di lontarkan lelaki itu. Namun cukup lama, lelaki itu tak bersuara. Dia hanya menatap Anan menilai kemudian tertawa kencang.

Lelaki itu tertawa keras tanpa sebab. Membuat Anan sedikit bingung, namun untung saja dia dapat menyembunyikan kebingungannya.

"Kau sangat pemberani." Seru lelaki itu di sela tawanya.

Anan mengangkat alisnya, "Apa?"

Kemudian lelaki itu menghentikan tawanya lalu tersenyum kepada Anan. "Kau sangat pemberani, gadis manis." ulang lelaki itu. "Tetapi sayangnya aku juga harus menghabisimu, karena aku tidak ingin ada saksi dalam kejadian ini."

Anan tersenyum menatap lelaki di hadapannya, "Lakukan apa yang kau mau selagi kau bisa melakukannya"

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya "Kau tidak takut mati, manis?" lelaki itu mulai berjalan mengelilingi Anan sambil memainkan sebilah pisau yang tadi di gunakannya untuk membunuh pria perampok itu.

"Tidak."

"Wow... kau benar-benar pemberani." lelaki itu menghentikan langkahnya, lalu berdiri di depan Anan sambil menatapnya."Apa yang membuatmu tidak takut mati?"

Anan tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke langit gelap "Karena aku tahu semua yang bernapas pasti akan mati" Dia kembali mengalihkan pandangannya pada lelaki di depannya "Dan kita juga pasti akan mengalaminya."

"Dan kau tahu? Mungkin sekaranglah saatnya untukmu mengalaminya." Lelaki itu tersenyum kejam, matanya menelusuri setiap inchi tubuh Anan seakan menerka bagian tubuh mana yang akan di lukainya.

"Mungkin." Anan menghela napas, "Hanya Allah yang tahu kapan aku harus mati, dan hanya Dialah yang memutuskan."

"Baiklah kalau begitu. Kau ingin aku melukaimu dimana gadis manis? Aku sarankan di tempat yang membuatmu bisa langsung mati, sehingga kau tidak akan merasakan rasa sakit terlalu lama." Lelaki itu mendekatkan pisaunya pada wajah Anan. Anan tidak bereaksi sama sekali, tidak ada ketakutan di matanya yang coklat bening, dan wajahnya pun tidak pucat seperti orang yang ketakutan.

"Apa yang kau lihat?" tanya lelaki itu penasaran dengan sikap Anan yang terus memandangi wajahnya.

"Kau terluka."

"Apa?" lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Kemudian dia seolah tersadar lalu mengusap keningnya. Ada sebuah luka goresan kecil di keningnya sehingga keningnya sedikit kotor oleh darah. "Hanya luka kecil. Bahkan sangat kecil bagiku."

Anan mengeluarkan sebuah plester dari dalam  saku seragam sekolahnya yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi. Anan menyodorkan plesternya pada lelaki itu.

"Ini bisa kau gunakan untuk menutupi luka di keningmu. Aku lihat lukanya tidak terlalu lebar dan tidak dalam jadi bisa di tutupi dengan ini." Anan menggoyangkan tangannya agar lelaki itu mau menerima plester yang di berikannya.

Lelaki itu mengerutkan keningnya, menatap Anan heran. Tapi lelaki itu menerima plester pemberian Anan.

"Dan luka di lengan kirimu juga harus segera di balut agar darahnya tidak terus keluar. Kau bisa tidak sadarkan diri karena kehabisan darah." Anan mengeluarkan sebuah kain warna putih berbentuk segitiga dari saku rok sekolahnya. Dia melipat kain itu menjadi lipatan panjang.

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya lelaki itu bingung dengan yang dilakukan Anan.

"Membalut lukamu." jawabnya tanpa menatap lelaki itu. "Sini lenganmu!" Anan mengulurkan tangannya kearah lelaki itu yang menatapnya kebingungan. Lelaki itu mengulurkan tangannya kearah Anan.

"Oh ya... lepaskan dahulu jas yang kau pakai!"

Lelaki itu menuruti apa yang diperintahkan Anan kepadanya seolah terhipnotis oleh perkataannya. Lelaki itu melepas jasnya dan memegangnya di tangan kanannya. Anan segera membalut luka lelaki itu. Lelaki itu terus memperhatikan gerakan Anan yang begitu ahli. Ada sedikit rasa kagum di mata birunya. Lelaki itu meringis ketika Anan menarik kainnya untuk diikat.

"Maaf." Anan merapikan ikatannya lalu menjauhkan tubuhnya dari lelaki itu.

Lelaki itu menatap hasil balutan Anan di tangannya. Dia mengangkat bahunya lalu tersenyum kepada Anan, "Lumayan" katanya. Kemudian dia mengerutkan keningnya "Sepertinya aku berubah pikiran."

Anan mengangkat alisnya "Maksudmu?"

Lelaki itu tersenyum "Aku membatalkan rencanaku untuk menghabisimu. "

"Kenapa?" tanya Anan datar, wajahnya tetap dingin.

"Karena kau masih pantas hidup."

"Siapa namamu?" tanya lelaki itu.

Anan menatap lelaki itu curiga.

"Kau pasti memiliki nama bukan?" tambahnya.

Anan terdiam menatap lelaki itu, tidak ada jawaban darinya selama beberapa saat. Sehingga membuat lelaki itu mengangkat bahunya.

"Jika kau tidak ingin mengatakan namamu, tidak apa. Aku bisa mencari tahunya sendiri." katanya, "Dan itu berarti aku harus......"

"Anan." ucap Anan memotong lelaki itu, "Namaku Anandia Nasri"

Lelaki itu tersenyum, merasa puas atas jawaban Anan. Dia menatap Anan lekat, "Dan namaku Rayyan Calief. Kau bisa memanggilku Rayyan."

Rayyan menghembuskan napas panjang. "Aku harus pergi, Anan" Dia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Anan tepat di matanya. Mata coklat itu balik menatap matanya yang biru. "Sampai bertemu lagi. Dan saat kita bertemu lagi nanti, aku akan pastikan semuanya berubah." ucapan itu bagaikan sebuah janji dari kegelapan yang pasti akan terjadi. Hingga terngiang di telinganya dan menembus hatinya yang membuatnya terperanjat dan bangun dari tidurnya.

Anan terduduk di atas tempat tidurnya, napasnya sedikit terengah dan memburu.

Kenapa kejadian itu terus muncul di mimpinya?

Sudah satu minggu ini Anan terus memimpikan kejadian yang dialaminya minggu lalu. Dia tidak tahu kenapa kejadian itu terus muncul di mimpinya. Padahal dia sudah berusaha melupakan kejadian itu. Apa mungkin kata-kata Rayyan yang membuatnya selalu memimpikan kejadian itu? Memang apa yang akan berubah dari semuanya? Dia saja belum tentu akan bertemu lagi dengannya.Semua ini membuatnya bingung dan frustasi. Anan menggaruk kepalanya bingung.

"Rayyan Calief?" gumamnya pelan, "Siapa dia?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar