Anan berjalan di
sepanjang koridor bersama teman-temannya menuju aula sekolah. Matanya menatap
pada langit yang sangat terik hari ini. Tiupan angin yang cukup kencang,
sedikit membantu mendinginkan cuaca yang sangat panas. Sesekali Anan mengusap
keringat di keningnya, dan mengibaskan buku yang dibawanya di sekitar wajah.
Ocehan tak henti
terdengar di sepanjang koridor. Anan tersenyum menatap teman-temannya yang
terus menerus membicarakan sesuatu dan membuat lelucon. Anan kembali memandang
langit, meresapi cahaya yang begitu terang itu. Begitu menyilaukan. Anan
mengalihkan pandangannya kearah aula yang terlihat ramai oleh para siswa.
Anan menatap
sahabatnya Deasy yang celingukkan entah mencari apa. “Kau sedang apa De?”
tanyanya aneh.
Deasy
mengalihkan perhatiannya kepada Anan dengan serius, “Aku sedang mencari
seseorang.” Balasnya membuat Anan memutar matanya.
“Seseorang itu pasti mempunyai nama
bukan?” balas Anan, membuat Deasy tersenyum malu. Sedangkan Anan hanya menatap
aneh.
Deasy
mendekatkan mulutnya pada telinga Anan, “Aku sedang mencari sahabatmu.”
Bisiknya malu-malu.
“Ouh.” Anan menganggukkan kepalanya
sambil tertawa. “Sebenarnya siapa lelaki yang kau suka? Aulia atau siapa?”
Deasy mengangkat
bahunya, “Entahlah. Apa salahnya jika aku menyukai mereka.”
Anan menatap
Deasy serius, “Jelas salah.” Katanya sambil berlalu meninggalkan Deasy.
“Aku memiliki hak untuk menyukai
siapapun yang kumau bukan?” balas Deasy sambil berlari menyusul Anan memasuki
aula.
“Yes,
you have.” Anan mengedarkan pandangannya mencari kursi yang bisa di
dudukinya. Semua kursi sepertinya sudah terisi semua. Maklum saja, semua siswa
kelas tiga diwajibkan untuk ke aula, sementara jumlah semua murid kelas tiga
hampir mencapai 600 orang. Jadi bisa dibayangkan betapa sesaknya aula saat ini.
“Kita duduk dimana?” tanya Deasy
yang juga tengah mencari tempat duduk.
“Disana.” Anan menunjuk dua buah
kursi kosong yang terletak di dekat pintu ketiga. “Ayo.” Katanya, lalu berjalan
menuju kursi yang di tunjuknya.
Dengan segera
Anan duduk di kursi yang ditemukannya, begitupun dengan Deasy. Udara di dalam
aula tidak jauh berbeda dengan keadaan di luar, bahkan di dalam aula terasa
begitu menyesakkan karena dipenuhi banyak orang. Pemasangan AC yang begitu
banyak pun sepertinya tidak berpengaruh, karena kinerja AC dalam mendinginkan
ruangan tidak sebanding bila dibandingkan dengan jumlah penghasil karbondioksida
yang disebut manusia.
Anan
mengibas-ngibaskan buku yang sedaritadi dibawa, setidaknya dia sedikit terbantu
dengan buku tersebut. Matanya mengedar, memperhatikan ruangan yang di dekor
sedemikian rupa. Kemudian pandangannya jatuh pada sebuah tulisan besar yang
terpampang di depan dengan tulisan Castellar
itu. Seminar bisnis? Anan tak
habis pikir dengan sekolahnya. Sekolahnya adalah sekolah kejuruan yang sebagian
bahkan seluruh jurusan yang ada yaitu Teknik. Pelajaran bisnis yang didapatnya
disini hanyalah pelajaran kewirausahaan, dan itupun tidak dipelajarinya terlalu
dalam. Yasudahlah, apapun bentuk sebuah informasi, itu adalah salah satu ilmu.
Dan hukum menuntut ilmu itu wajib, bagi siapapun di dunia ini.
Anan menurunkan
pandangannya pada nama perusahaan yang menjadi tamu di acara seminar itu.
Seingatnya, teman-teman sekelasnya pernah mengatakan bahwa Calief Corporation adalah perusahaan besar di bidang eksport-import dan developer. Tapi, kenapa dia merasa sangat familiar dengan nama
tersebut?
“Tes..
Tes…” Anan mengalihkan perhatiannya pada pembawa acara yang sudah berdiri
dan siap membuka acara. “Baik, sebentar
lagi acara akan dimulai. Jadi dimohon kepada semua siswa dan siswi untuk segera
duduk di tempatnya.”
“Nan, pembawa acara di depan sangat
tampan bukan?” Deasy mengambil ponselnya lalu mulai melancarkan aksinya.
Memotret siapapun yang dianggapnya tampan.
“Kambing berjenggot pun kau bilang
tampan, De.” Balas Anan. Deasy hanya mendelik sekilas lalu kembali fokus pada
ponselnya. Melihat Deasy yang memegang ponsel membuat Anan teringat bahwa dia
harus menghubungi sepupunya. Dengan segera Anan mengambil ponsel dan mengirim
pesan singkat. Acara dimulai dengan sambutan kepala sekolah dan perwakilan guru
kewirausahaan, dilanjutkan oleh sambutan dari pihak perusahaan yang sepertinya
orang kepercayaan pemilik. Dan sedikit kejutan diberikan perusahaan karena
pemateri seminar kali ini akan dilakukan langsung oleh CEO Calief Corporation.
“Baik,
pemateri yang kita tunggu sudah tiba disini. Jadi mari sambut pemateri kita,
Rayyan Calief.”
Seketika itu
juga tangan Anan berhenti mengetik pada ponselnya. Saat pembawa acara
menyebutkan nama seseorang itu, Anan merasa ada yang tidak terkendali dalam
dirinya, pikirannya. Rayyan Calief? Apa dia tidak salah mendengar nama?
Menurutnya tidak mungkin ada orang lain yang memiliki nama seperti itu, atau
apakah pemilik nama itu adalah orang yang dia pikirkan saat ini?
“Oh, Nan, dia tampan sekali.” Seru
Deasy.
Anan mendongak
ke depan, dan membeku seketika. Itu benar dia. Rayyan Calief yang ditemuinya
beberapa minggu yang lalu. Lelaki yang pada malam itu berniat membunuhnya.
Lelaki itu pula yang selama berhari-hari ini menghantui dirinya di dalam mimpi.
Dia tidak heran kenapa tadi merasa familiar dengan nama perusahaan yang dibacanya,
ternyata memang sangat berkaitan dengan lelaki itu, dan dia yakin jika Rayyan
adalah pemilik perusahaan itu. Oh, sudah jelas bukan bila tadi yang akan
menjadi pemateri seminar pemilik perusahaan. Terdengar jelas dalam sambutan.
Anan menundukkan
perlahan kepalanya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia takut, apa yang
dikatakan Rayyan saat itu memang akan dilakukan. Dia tidak ingin terlibat
dengan manusia berdarah dingin seperti Rayyan itu, yang menjelma seperti
malaikat namun berhati iblis. Tapi semoga saja Rayyan tidak pernah
mengingatnya. Dia hanya gadis biasa yang mungkin tak ada arti apa-apa untuk
Rayyan, sehingga lelaki itu tidak mungkin melakukan apa yang dikatakannya. Ya,
semoga saja seperti itu.
“Selamat siang semuanya.” Anan
mendongakkan kepalanya tatkala suara yang pada malam itu begitu dingin sekarang
terdengar sangat hangat. Lelaki itu memang bermuka dua. Semua orang pasti
mengiranya seseorang yang baik.
“Saya Rayyan Calief, dan saya adalah
CEO dari Calief Corporation. Pada kesempatan kali ini, saya ingin membagikan
semua pengalaman saya untuk kalian semua. Apa kalian tidak keberatan jika saya
berbagi cerita?” tanyanya sambil tersenyum. Serempak semua murid menjawab ‘ya’
disertai dengan wajah terpesona.
Anan hanya
menyandarkan punggungnya kebelakang, mengamati lelaki di depannya yang
membuatnya semakin merasa bingung. Berapa kepribadian yang dimiliki lelaki itu?
Bagaimana bisa dia berganti sifat menjadi sebaik dan seramah itu? Lelaki itu
memang pandai menipu dan berakting. Dengan mudahnya dia memikat pemikiran orang
lain dengan kebaikan palsunya.
“Selain tampan dia juga sepertinya
baik ya, Nan.” Deasy menatap Anan sekilas lalu kembali melihat kearah Rayyan.
“Hmm.” Balas Anan singkat. Baik dari
mana? Sungguh dia tidak suka mendengar pujian itu untuk Rayyan. Andai saja
semua orang tahu siapa Rayyan sebenarnya. Pasti Anan akan sedikit lebih tenang
karena semua orang yang dikenalnya tidak akan masuk ke dalam jeratan Rayyan.
“Wajahnya tampan, hatinya baik, dia
memang pantas disebut malaikat.” Tambah Deasy.
Anan mendengus, Malaikat pencabut nyawa maksudmu? Balasnya
dalam hati. “Hmm.”
Deasy menatap
kearah Anan kesal, “Ish, daritadi kau hanya menjawab ‘Hmm’, tidak ada perkataan
yang lain apa?”
“Tidak.” Balas Anan singkat. “And, don’t judge people by this cover.
Karena apa yang terlihat tidak selalu mencerminkan kepribadiannya. Seperti saat
kau melihat buah mangga yang terlihat mulus diluar, belum tentu di dalamnya
tidak busuk. Sama halnya dengan orang itu, dia terlihat sempurna bukan? Tapi belum
tentu hatinya sempurna.” Tambahnya lalu pergi meninggalkan Deasy yang terdiam
menatap Anan aneh.
Deasy
mengerutkan keningnya bingung, “Apa maksudnya?” tanyanya pada diri sendiri.
“Yasudahlah.” Katanya lalu kembali menatap kearah Rayyan yang masih menceritakan
pengalamannya.
Anan keluar dari
aula dengan kesal. Beberapa kali dia menghela napas untuk menetralkan emosinya.
Sepertinya dia harus berwudhu untuk menenangkan diri, lagipula dia masih bisa
untuk menunaikan sholat dhuha, masih ada waktu sekitar setengah jam lagi.
Segera Anan menuju masjid yang terletak tepat di depan aula. Hanya terpisah
oleh taman kecil dan jalan utama sekolah, sehingga tidak butuh waktu lama untuk
ke masjid.
Sebenarnya dia
juga bingung kenapa harus merasa kesal kepada Rayyan. Padahal awalnya dia tidak
peduli dengan semua yang dilakukan Rayyan. Tapi kenapa dia harus merasa kesal
seperti ini? Mungkin karena Rayyan yang bersifat seperti tadi, dan menurutnya
itu adalah sebuah penipuan. Entahlah, dia tidak ingin memikirkan itu. Dia tidak
ingin ikut campur mengenai apapun tentang Rayyan.
“Yasudahlah. Bukan urusanmu Anan.
Perbaiki dirimu sendiri saja.” Katanya, lalu membasuh kedua tangannya.
…..
Anan
melangkahkan kakinya keluar dari masjid. Tiupan angin disertai dedaunan yang
jatuh seolah menyambut langkahnya yang sekarang terasa ringan. Seperti semua
beban yang dirasakannya tadi hilang seluruhnya setelah dia mengadu pada Sang
Pencipta. Memang, tiada tempat paling indah untuk mengadu selain kepada Allah
S.W.T.
Anan
melangkahkan kakinya menuju aula. Siapa tahu acara seminar tadi belum selesai,
dan sekarang dia sudah merasa lebih baik untuk mengikuti seminar itu. Perasaan
khawatir, kesal, dan marah yang tadi dirasakannya kini sudah hilang. Dia siap
untuk menuntut ilmu, dan seolah melupakan semuanya.
Baru beberapa
langkah dia berjalan, langkahnya terhenti karena di depan rombongan kepala
sekolah tengah berjalan kearahnya. Dan diantara semua orang itu, Rayyan berdiri
disana sedang berbicara dengan kepala sekolah.
Anan
menghembuskan napasnya perlahan, mencoba menetralkan perasaannya yang entah apa
itu. Ketika rombongan itu melintas di hadapannya, dia hanya menganggukkan
kepalanya perlahan sambil tersenyum kecil. Sedangkan matanya menatap daun yang
terjatuh di aspal. Namun, entah kenapa di merasakan tatapan yang intens dari
Rayyan. Dia memang tidak melihat bahwa Rayyan menatap kepadanya, tapi dia dapat
merasakannya, dengan sangat jelas.
Anan
mendongakkan kepalanya setelah rombongan itu berlalu. Sekilas dia melihat
punggung Rayyan yang tegap dan menghilang dibalik tembok.
“Anan.”
“Astagfirullahaládzim.”
Anan menatap
kearah Deasy dengan terkejut. Namun setelah beberapa saat, dia tersadar dan
menghembuskan napasnya. “Kau mengagetkanku.” Katanya kesal.
“Kau saja yang sedang melamun.”
Cibir Deasy. “Ayo kita ke kelas, sebentar lagi pelajaran akan dimulai,” katanya
yang hanya dibalas oleh anggukan kecil dari Anan.
Diperjalanan
menuju kelasnya, Anan hanya diam. Pikirannya sibuk berkutat dengan semua
asumsi-asumsinya mengenai Rayyan yang seharusnya tak pernah dia pikirkan.
Rayyan hanya orang lain yang tak sengaja bertemu dengannya dalam suatu
kejadiaan yang tak seharusnya ada. Berarti dia tidak perlu membebani
pemikirannya mengenai lelaki itu. Lagipula, itu bukan urusannya.
Melihat temannya
terus melamun, Deasy menyikut lengan Anan pelan. Sangat pelan, tapi membuat
Anan terperanjat. “Kau kenapa?” tanyanya bingung.
“Aku tidak apa.”
“Kau serius? Kau terlihat berbeda
dari tadi, ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, aku serius.”
Kemudian Anan menunjuk kearah salah seorang guru yang akan mengajar kelasnya
pada hari ini, “Itu pak Putra.” Katanya sambil berlari karena tidak ingin
terlambat masuk kelas dan dihukum.
“Kenapa pak Putra datang secepat ini
sih?” Protes Deasy dengan napas yang
tersenggal.
Anan semakin
mempercepat langkahnya, “Karena tidak datang seterlambat kita,” balasnya dengan
wajah polos.
Deasy mendelik
kesal, “Aku tahu itu. Sangat pintar sekali otakmu.” Katanya lalu berlari
menyusul Anan dan mendahuluinya, membuat Anan terperangah kesal.
“Hei, De tunggu.” Anan semakin
mempercepat langkahnya, walau napasnya sudah tersenggal-senggal. Namun, dia
terlalu memperhatikan langkahnya sehingga tidak memperhatikan apa yang di
depannya. Tanpa sengaja Anan menabrak tubuh seseorang dengan keras, sehingga
membuat tubuhnya limbung kebelakang. Pikirnya dia akan terjatuh ke lantai, tapi
tak lama kemudian dia merasakan sebuah tangan yang menyangganya di pinggang.
Seketika Anan mendongakkan kepalanya, dan matanya bertatapan dengan sepasang
mata biru terang yang menatapnya terkejut. Oh, tidak. Dia
menabrak seseorang, dan orang itu adalah Rayyan Calief. Hal yang tak pernah
diinginkannya selama ini. Untuk bertemu dengannya saja dia tidak mau, apalagi
menabraknya. Dan di depan semua petinggi sekolah. Yaa Rabb, bantu hambamu ini.
Dengan perlahan
dan dengan rasa malu yang luar biasa, Anan menyeimbangkan tubuhnya dan mundur
beberapa langkah ke balakang. Napasnya sedikit tersenggal, dan dia yakin
wajahnya pun sudah merah seluruhnya.
“Maaf.” Katanya kemudian. Kepalanya menunduk, namun matanya melihat
sekilas kearah orang-orang yang memperhatikannya dengan berbagai ekspresi.
“Kau baik-baik saja?” tanya suara
berat itu. Entah hanya perasaannya atau bukan, bahwa suara itu terdengar
khawatir.
Anan mengangkat
kepalanya lalu tersenyum kecil, “Ya, saya baik-baik saja. Sekali lagi saya
minta maaf.” Balasnya, lalu pergi menuju kelas setelah mengucapkan salam.
Anan menutup
wajahnya sekilas karena merasa malu setengah mati. “Yaampun, Anan. Apa yang kau
lakukan?”
Dia
menghembuskan napasnya keras, menetralkan kondisi jantungnya yang berdetak
lebih kencang. Dia merutuki dirinya sendiri dan semua kecerobohannya. Kalau
begini, selain dia malu karena menabrak Rayyan, dia juga jadi datang terlambat
ke kelas. Benar- benar hari yang mengesalkan baginya.
.….
Di dalam mobil
mewah yang melaju perlahan itu, Rayyan terus memperhatikan. Memperhatikan
seorang gadis yang tengah berjalan sendiri. Gadis itu berjalan begitu perlahan,
dan sesekali mengusap wajahnya kesal. Entah apa yang dirasakan oleh gadis itu
sehingga membuatnya begitu terlihat kesal. Mungkin karena dirinya.
Kehadirannya ke
sekolah sebagai pemateri sekaligus donatur mungkin membuat Anan terkejut. Dia
memang sengaja melakukan hal itu. Dia ingin tahu sejauh mana Anan mengingatnya.
Mengingat dirinya dan kejadian beberapa waktu lalu yang telah membuat hidupnya
berubah. Sedari awal dia sudah tertarik kapada Anan, dari hanya sekedar
ketertarikan biasa karena melihat keberanian gadis itu, namun semakin hari dia
merasakan ketertarikan yang berbeda terhadap Anan. Dia memiliki perasaan yang
lebih dari sekedar ketertarikan.
Dia mulai
menyelidiki latar belakang Anan. Siapa keluarganya, dimana tempat tinggalnya,
dimana dia bersekolah, dan semuanya tentang gadis itu. Dan keberuntungan memang
berpihak kepadanya. Ayahnya menyuruhnya untuk membuat kegiatan amal dengan
menjadi donatur ke tiap sekolah di kota ini, dan salah satunya yaitu sekolah
Anan. Sehingga dia bisa sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dia bisa
melaksanakan perintah ayahnya, sekaligus melaksanakan rencananya.
Getaran ponsel
di saku membuatnya mengalihkan perhatian sejenak. Matanya kembali mengawasi
Anan sambil mengangkat panggilan dari salah satu anak buahnya. Tak lama, dia
menutup ponselnya dan menatap kearah Leo yang duduk di kursi depan.
“Bawa aku ke gedung yang masih di
bangun di dekat sini.” Katanya memerintah.
Leo menengokkan
kepalanya kebelakang, menatap tuannya yang begitu dingin, “Lalu bagaimana
dengan nona Anan?”
“Biarkan saja, aku yakin dia akan
baik-baik saja.”
Lalu mobil pun
berlalu, membawa Rayyan ke sebuah gedung yang masih dalam proses pembangunan.
Tak butuh waktu lama menuju gedung tersebut, karena letaknya yang cukup dekat
dari sekolah. Rayyan turun dari dalam mobil sambil melepas kacamata hitam yang
dipakainya sedari tadi. Di depannya tengah berdiri beberapa orang anak buahnya
dan seorang pria yang bersimpuh dengan wajah yang berlumuran darah.
Rayyan tersenyum
licik, mata birunya berkilat marah. “Apakah senang selama ini kau mengira bahwa
aku akan melepaskanmu?”
Rayyan berdiri
tepat dihadapan pria itu, begitupun dengan Leo yang mengikutinya. “Kau pikir
aku akan melepaskanmu begitu saja, setelah pengkhianatan yang kau lakukan
kepadaku?”
“Sa..sa..saya minta maaf, tuanku
Rayyan.” Johan berlutut di bawah kaki Rayyan.
Melihat Johan
memegang kakinya, Rayyan langsung menendang pria itu hingga terlentang di
tanah. “Seharusnya kau tidak pernah melakukan itu Johan. Kau sudah bertindak
sangat bodoh karena berurusan denganku.”
“Pisauku.” Rayyan menengadahkan
tangannya pada Leo. Dengan segera Leo menyerahkan pisau dari dalam koper kepada
Rayyan. “Buat dia berdiri.”
Anak buah Rayyan
segera mengangkat Johan berdiri, mengapitnya dan memegangnya dengan erat. Johan
memelas meminta ampunan, “Saya mohon jangan tuan, kasihanilah saya.”
“Tidak ada ampunan bagi seorang
pengkhianat.” Katanya dingin.
Senyum licik
tersungging dari bibir Rayyan yang tipis. Senyuman menakutkan, seperti yang
selalu dia tunjukan setiap keadaannya seperti ini. Dia menatap pisaunya yang
mengkilap terkena cahaya matahari sore, membuatnya bersemangat untuk
menusukkannya pada Johan. Rayyan melempar pisaunya ke udara, lalu menangkapnya
kembali dan mengarahkannya pada Johan. Saat pisau itu hampir menyentuh dada
Johan, sebuah tangan menahannya dengan keras tepat pada mata pisaunya. Darah
segar mengalir dari tangan tersebut, membuat pisau yang tadinya bersih kini
berlumuran dengan darah.
Rayyan
mengalihkan pandangannya pada seseorang yang menghalanginya, dan matanya
terbelalak saat melihat siapa orang tersebut.
“Anan.”
