Kamis, 24 Mei 2018

Cahaya di Kegelapan - BAB 1


Anan berjalan di sepanjang koridor bersama teman-temannya menuju aula sekolah. Matanya menatap pada langit yang sangat terik hari ini. Tiupan angin yang cukup kencang, sedikit membantu mendinginkan cuaca yang sangat panas. Sesekali Anan mengusap keringat di keningnya, dan mengibaskan buku yang dibawanya di sekitar wajah.

Ocehan tak henti terdengar di sepanjang koridor. Anan tersenyum menatap teman-temannya yang terus menerus membicarakan sesuatu dan membuat lelucon. Anan kembali memandang langit, meresapi cahaya yang begitu terang itu. Begitu menyilaukan. Anan mengalihkan pandangannya kearah aula yang terlihat ramai oleh para siswa.

Anan menatap sahabatnya Deasy yang celingukkan entah mencari apa. “Kau sedang apa De?” tanyanya aneh.

Deasy mengalihkan perhatiannya kepada Anan dengan serius, “Aku sedang mencari seseorang.” Balasnya membuat Anan memutar matanya.

            “Seseorang itu pasti mempunyai nama bukan?” balas Anan, membuat Deasy tersenyum malu. Sedangkan Anan hanya menatap aneh.

Deasy mendekatkan mulutnya pada telinga Anan, “Aku sedang mencari sahabatmu.” Bisiknya malu-malu.

            “Ouh.” Anan menganggukkan kepalanya sambil tertawa. “Sebenarnya siapa lelaki yang kau suka? Aulia atau siapa?”

Deasy mengangkat bahunya, “Entahlah. Apa salahnya jika aku menyukai mereka.”

Anan menatap Deasy serius, “Jelas salah.” Katanya sambil berlalu meninggalkan Deasy.

            “Aku memiliki hak untuk menyukai siapapun yang kumau bukan?” balas Deasy sambil berlari menyusul Anan memasuki aula.

            Yes, you have.” Anan mengedarkan pandangannya mencari kursi yang bisa di dudukinya. Semua kursi sepertinya sudah terisi semua. Maklum saja, semua siswa kelas tiga diwajibkan untuk ke aula, sementara jumlah semua murid kelas tiga hampir mencapai 600 orang. Jadi bisa dibayangkan betapa sesaknya aula saat ini.

            “Kita duduk dimana?” tanya Deasy yang juga tengah mencari tempat  duduk.

            “Disana.” Anan menunjuk dua buah kursi kosong yang terletak di dekat pintu ketiga. “Ayo.” Katanya, lalu berjalan menuju kursi yang di tunjuknya.

Dengan segera Anan duduk di kursi yang ditemukannya, begitupun dengan Deasy. Udara di dalam aula tidak jauh berbeda dengan keadaan di luar, bahkan di dalam aula terasa begitu menyesakkan karena dipenuhi banyak orang. Pemasangan AC yang begitu banyak pun sepertinya tidak berpengaruh, karena kinerja AC dalam mendinginkan ruangan tidak sebanding bila dibandingkan dengan jumlah penghasil karbondioksida yang disebut manusia.

Anan mengibas-ngibaskan buku yang sedaritadi dibawa, setidaknya dia sedikit terbantu dengan buku tersebut. Matanya mengedar, memperhatikan ruangan yang di dekor sedemikian rupa. Kemudian pandangannya jatuh pada sebuah tulisan besar yang terpampang di depan dengan tulisan Castellar itu. Seminar bisnis? Anan tak habis pikir dengan sekolahnya. Sekolahnya adalah sekolah kejuruan yang sebagian bahkan seluruh jurusan yang ada yaitu Teknik. Pelajaran bisnis yang didapatnya disini hanyalah pelajaran kewirausahaan, dan itupun tidak dipelajarinya terlalu dalam. Yasudahlah, apapun bentuk sebuah informasi, itu adalah salah satu ilmu. Dan hukum menuntut ilmu itu wajib, bagi siapapun di dunia ini.

Anan menurunkan pandangannya pada nama perusahaan yang menjadi tamu di acara seminar itu. Seingatnya, teman-teman sekelasnya pernah mengatakan bahwa Calief Corporation adalah perusahaan besar di bidang eksport-import dan developer. Tapi, kenapa dia merasa sangat familiar dengan nama tersebut?

            “Tes.. Tes…” Anan mengalihkan perhatiannya pada pembawa acara yang sudah berdiri dan siap membuka acara. “Baik, sebentar lagi acara akan dimulai. Jadi dimohon kepada semua siswa dan siswi untuk segera duduk di tempatnya.”

            “Nan, pembawa acara di depan sangat tampan bukan?” Deasy mengambil ponselnya lalu mulai melancarkan aksinya. Memotret siapapun yang dianggapnya tampan.

            “Kambing berjenggot pun kau bilang tampan, De.” Balas Anan. Deasy hanya mendelik sekilas lalu kembali fokus pada ponselnya. Melihat Deasy yang memegang ponsel membuat Anan teringat bahwa dia harus menghubungi sepupunya. Dengan segera Anan mengambil ponsel dan mengirim pesan singkat. Acara dimulai dengan sambutan kepala sekolah dan perwakilan guru kewirausahaan, dilanjutkan oleh sambutan dari pihak perusahaan yang sepertinya orang kepercayaan pemilik. Dan sedikit kejutan diberikan perusahaan karena pemateri seminar kali ini akan dilakukan langsung oleh CEO Calief Corporation.

            “Baik, pemateri yang kita tunggu sudah tiba disini. Jadi mari sambut pemateri kita, Rayyan Calief.”

Seketika itu juga tangan Anan berhenti mengetik pada ponselnya. Saat pembawa acara menyebutkan nama seseorang itu, Anan merasa ada yang tidak terkendali dalam dirinya, pikirannya. Rayyan Calief? Apa dia tidak salah mendengar nama? Menurutnya tidak mungkin ada orang lain yang memiliki nama seperti itu, atau apakah pemilik nama itu adalah orang yang dia pikirkan saat ini?

            “Oh, Nan, dia tampan sekali.” Seru Deasy.

Anan mendongak ke depan, dan membeku seketika. Itu benar dia. Rayyan Calief yang ditemuinya beberapa minggu yang lalu. Lelaki yang pada malam itu berniat membunuhnya. Lelaki itu pula yang selama berhari-hari ini menghantui dirinya di dalam mimpi. Dia tidak heran kenapa tadi merasa familiar dengan nama perusahaan yang dibacanya, ternyata memang sangat berkaitan dengan lelaki itu, dan dia yakin jika Rayyan adalah pemilik perusahaan itu. Oh, sudah jelas bukan bila tadi yang akan menjadi pemateri seminar pemilik perusahaan. Terdengar jelas dalam sambutan.

Anan menundukkan perlahan kepalanya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia takut, apa yang dikatakan Rayyan saat itu memang akan dilakukan. Dia tidak ingin terlibat dengan manusia berdarah dingin seperti Rayyan itu, yang menjelma seperti malaikat namun berhati iblis. Tapi semoga saja Rayyan tidak pernah mengingatnya. Dia hanya gadis biasa yang mungkin tak ada arti apa-apa untuk Rayyan, sehingga lelaki itu tidak mungkin melakukan apa yang dikatakannya. Ya, semoga saja seperti itu.

            “Selamat siang semuanya.” Anan mendongakkan kepalanya tatkala suara yang pada malam itu begitu dingin sekarang terdengar sangat hangat. Lelaki itu memang bermuka dua. Semua orang pasti mengiranya seseorang yang baik.

            “Saya Rayyan Calief, dan saya adalah CEO dari Calief Corporation. Pada kesempatan kali ini, saya ingin membagikan semua pengalaman saya untuk kalian semua. Apa kalian tidak keberatan jika saya berbagi cerita?” tanyanya sambil tersenyum. Serempak semua murid menjawab ‘ya’ disertai dengan wajah terpesona.

Anan hanya menyandarkan punggungnya kebelakang, mengamati lelaki di depannya yang membuatnya semakin merasa bingung. Berapa kepribadian yang dimiliki lelaki itu? Bagaimana bisa dia berganti sifat menjadi sebaik dan seramah itu? Lelaki itu memang pandai menipu dan berakting. Dengan mudahnya dia memikat pemikiran orang lain dengan kebaikan palsunya.

            “Selain tampan dia juga sepertinya baik ya, Nan.” Deasy menatap Anan sekilas lalu kembali melihat kearah Rayyan.

            “Hmm.” Balas Anan singkat. Baik dari mana? Sungguh dia tidak suka mendengar pujian itu untuk Rayyan. Andai saja semua orang tahu siapa Rayyan sebenarnya. Pasti Anan akan sedikit lebih tenang karena semua orang yang dikenalnya tidak akan masuk ke dalam jeratan Rayyan.

            “Wajahnya tampan, hatinya baik, dia memang pantas disebut malaikat.” Tambah Deasy.

Anan mendengus, Malaikat pencabut nyawa maksudmu? Balasnya dalam hati. “Hmm.”

Deasy menatap kearah Anan kesal, “Ish, daritadi kau hanya menjawab ‘Hmm’, tidak ada perkataan yang lain apa?”

            “Tidak.” Balas Anan singkat. “And, don’t judge people by this cover. Karena apa yang terlihat tidak selalu mencerminkan kepribadiannya. Seperti saat kau melihat buah mangga yang terlihat mulus diluar, belum tentu di dalamnya tidak busuk. Sama halnya dengan orang itu, dia terlihat sempurna bukan? Tapi belum tentu hatinya sempurna.” Tambahnya lalu pergi meninggalkan Deasy yang terdiam menatap Anan aneh.

Deasy mengerutkan keningnya bingung, “Apa maksudnya?” tanyanya pada diri sendiri. “Yasudahlah.” Katanya lalu kembali menatap kearah Rayyan yang masih menceritakan pengalamannya.

Anan keluar dari aula dengan kesal. Beberapa kali dia menghela napas untuk menetralkan emosinya. Sepertinya dia harus berwudhu untuk menenangkan diri, lagipula dia masih bisa untuk menunaikan sholat dhuha, masih ada waktu sekitar setengah jam lagi. Segera Anan menuju masjid yang terletak tepat di depan aula. Hanya terpisah oleh taman kecil dan jalan utama sekolah, sehingga tidak butuh waktu lama untuk ke masjid.

Sebenarnya dia juga bingung kenapa harus merasa kesal kepada Rayyan. Padahal awalnya dia tidak peduli dengan semua yang dilakukan Rayyan. Tapi kenapa dia harus merasa kesal seperti ini? Mungkin karena Rayyan yang bersifat seperti tadi, dan menurutnya itu adalah sebuah penipuan. Entahlah, dia tidak ingin memikirkan itu. Dia tidak ingin ikut campur mengenai apapun tentang Rayyan.

            “Yasudahlah. Bukan urusanmu Anan. Perbaiki dirimu sendiri saja.” Katanya, lalu membasuh kedua tangannya.
…..

Anan melangkahkan kakinya keluar dari masjid. Tiupan angin disertai dedaunan yang jatuh seolah menyambut langkahnya yang sekarang terasa ringan. Seperti semua beban yang dirasakannya tadi hilang seluruhnya setelah dia mengadu pada Sang Pencipta. Memang, tiada tempat paling indah untuk mengadu selain kepada Allah S.W.T.

Anan melangkahkan kakinya menuju aula. Siapa tahu acara seminar tadi belum selesai, dan sekarang dia sudah merasa lebih baik untuk mengikuti seminar itu. Perasaan khawatir, kesal, dan marah yang tadi dirasakannya kini sudah hilang. Dia siap untuk menuntut ilmu, dan seolah melupakan semuanya.
Baru beberapa langkah dia berjalan, langkahnya terhenti karena di depan rombongan kepala sekolah tengah berjalan kearahnya. Dan diantara semua orang itu, Rayyan berdiri disana sedang berbicara dengan kepala sekolah.

Anan menghembuskan napasnya perlahan, mencoba menetralkan perasaannya yang entah apa itu. Ketika rombongan itu melintas di hadapannya, dia hanya menganggukkan kepalanya perlahan sambil tersenyum kecil. Sedangkan matanya menatap daun yang terjatuh di aspal. Namun, entah kenapa di merasakan tatapan yang intens dari Rayyan. Dia memang tidak melihat bahwa Rayyan menatap kepadanya, tapi dia dapat merasakannya, dengan sangat jelas.

Anan mendongakkan kepalanya setelah rombongan itu berlalu. Sekilas dia melihat punggung Rayyan yang tegap dan menghilang dibalik tembok.

            “Anan.”

            “Astagfirullahaládzim.”

Anan menatap kearah Deasy dengan terkejut. Namun setelah beberapa saat, dia tersadar dan menghembuskan napasnya. “Kau mengagetkanku.” Katanya kesal.

            “Kau saja yang sedang melamun.” Cibir Deasy. “Ayo kita ke kelas, sebentar lagi pelajaran akan dimulai,” katanya yang hanya dibalas oleh anggukan kecil dari Anan.

Diperjalanan menuju kelasnya, Anan hanya diam. Pikirannya sibuk berkutat dengan semua asumsi-asumsinya mengenai Rayyan yang seharusnya tak pernah dia pikirkan. Rayyan hanya orang lain yang tak sengaja bertemu dengannya dalam suatu kejadiaan yang tak seharusnya ada. Berarti dia tidak perlu membebani pemikirannya mengenai lelaki itu. Lagipula, itu bukan urusannya.

Melihat temannya terus melamun, Deasy menyikut lengan Anan pelan. Sangat pelan, tapi membuat Anan terperanjat. “Kau kenapa?” tanyanya bingung.

            “Aku tidak apa.”

            “Kau serius? Kau terlihat berbeda dari tadi, ada apa?”

            “Tidak ada apa-apa, aku serius.” Kemudian Anan menunjuk kearah salah seorang guru yang akan mengajar kelasnya pada hari ini, “Itu pak Putra.” Katanya sambil berlari karena tidak ingin terlambat masuk kelas dan dihukum.

            “Kenapa pak Putra datang secepat ini sih?” Protes Deasy dengan napas yang tersenggal.
Anan semakin mempercepat langkahnya, “Karena tidak datang seterlambat kita,” balasnya dengan wajah polos.

Deasy mendelik kesal, “Aku tahu itu. Sangat pintar sekali otakmu.” Katanya lalu berlari menyusul Anan dan mendahuluinya, membuat Anan terperangah kesal.

            “Hei, De tunggu.” Anan semakin mempercepat langkahnya, walau napasnya sudah tersenggal-senggal. Namun, dia terlalu memperhatikan langkahnya sehingga tidak memperhatikan apa yang di depannya. Tanpa sengaja Anan menabrak tubuh seseorang dengan keras, sehingga membuat tubuhnya limbung kebelakang. Pikirnya dia akan terjatuh ke lantai, tapi tak lama kemudian dia merasakan sebuah tangan yang menyangganya di pinggang. Seketika Anan mendongakkan kepalanya, dan matanya bertatapan dengan sepasang mata biru terang yang menatapnya terkejut. Oh, tidak. Dia menabrak seseorang, dan orang itu adalah Rayyan Calief. Hal yang tak pernah diinginkannya selama ini. Untuk bertemu dengannya saja dia tidak mau, apalagi menabraknya. Dan di depan semua petinggi sekolah. Yaa Rabb, bantu hambamu ini.

Dengan perlahan dan dengan rasa malu yang luar biasa, Anan menyeimbangkan tubuhnya dan mundur beberapa langkah ke balakang. Napasnya sedikit tersenggal, dan dia yakin wajahnya pun sudah merah seluruhnya.

“Maaf.” Katanya kemudian. Kepalanya menunduk, namun matanya melihat sekilas kearah orang-orang yang memperhatikannya dengan berbagai ekspresi.

            “Kau baik-baik saja?” tanya suara berat itu. Entah hanya perasaannya atau bukan, bahwa suara itu terdengar khawatir.

Anan mengangkat kepalanya lalu tersenyum kecil, “Ya, saya baik-baik saja. Sekali lagi saya minta maaf.” Balasnya, lalu pergi menuju kelas setelah mengucapkan salam.

Anan menutup wajahnya sekilas karena merasa malu setengah mati. “Yaampun, Anan. Apa yang kau lakukan?”

Dia menghembuskan napasnya keras, menetralkan kondisi jantungnya yang berdetak lebih kencang. Dia merutuki dirinya sendiri dan semua kecerobohannya. Kalau begini, selain dia malu karena menabrak Rayyan, dia juga jadi datang terlambat ke kelas. Benar- benar hari yang mengesalkan baginya.
.….

Di dalam mobil mewah yang melaju perlahan itu, Rayyan terus memperhatikan. Memperhatikan seorang gadis yang tengah berjalan sendiri. Gadis itu berjalan begitu perlahan, dan sesekali mengusap wajahnya kesal. Entah apa yang dirasakan oleh gadis itu sehingga membuatnya begitu terlihat kesal. Mungkin karena dirinya.

Kehadirannya ke sekolah sebagai pemateri sekaligus donatur mungkin membuat Anan terkejut. Dia memang sengaja melakukan hal itu. Dia ingin tahu sejauh mana Anan mengingatnya. Mengingat dirinya dan kejadian beberapa waktu lalu yang telah membuat hidupnya berubah. Sedari awal dia sudah tertarik kapada Anan, dari hanya sekedar ketertarikan biasa karena melihat keberanian gadis itu, namun semakin hari dia merasakan ketertarikan yang berbeda terhadap Anan. Dia memiliki perasaan yang lebih dari sekedar ketertarikan.

Dia mulai menyelidiki latar belakang Anan. Siapa keluarganya, dimana tempat tinggalnya, dimana dia bersekolah, dan semuanya tentang gadis itu. Dan keberuntungan memang berpihak kepadanya. Ayahnya menyuruhnya untuk membuat kegiatan amal dengan menjadi donatur ke tiap sekolah di kota ini, dan salah satunya yaitu sekolah Anan. Sehingga dia bisa sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dia bisa melaksanakan perintah ayahnya, sekaligus melaksanakan rencananya.

Getaran ponsel di saku membuatnya mengalihkan perhatian sejenak. Matanya kembali mengawasi Anan sambil mengangkat panggilan dari salah satu anak buahnya. Tak lama, dia menutup ponselnya dan menatap kearah Leo yang duduk di kursi depan.

            “Bawa aku ke gedung yang masih di bangun di dekat sini.” Katanya memerintah.

Leo menengokkan kepalanya kebelakang, menatap tuannya yang begitu dingin, “Lalu bagaimana dengan nona Anan?”

            “Biarkan saja, aku yakin dia akan baik-baik saja.”

Lalu mobil pun berlalu, membawa Rayyan ke sebuah gedung yang masih dalam proses pembangunan. Tak butuh waktu lama menuju gedung tersebut, karena letaknya yang cukup dekat dari sekolah. Rayyan turun dari dalam mobil sambil melepas kacamata hitam yang dipakainya sedari tadi. Di depannya tengah berdiri beberapa orang anak buahnya dan seorang pria yang bersimpuh dengan wajah yang berlumuran darah.

Rayyan tersenyum licik, mata birunya berkilat marah. “Apakah senang selama ini kau mengira bahwa aku akan melepaskanmu?”

Rayyan berdiri tepat dihadapan pria itu, begitupun dengan Leo yang mengikutinya. “Kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja, setelah pengkhianatan yang kau lakukan kepadaku?”

            “Sa..sa..saya minta maaf, tuanku Rayyan.” Johan berlutut di bawah kaki Rayyan.

Melihat Johan memegang kakinya, Rayyan langsung menendang pria itu hingga terlentang di tanah. “Seharusnya kau tidak pernah melakukan itu Johan. Kau sudah bertindak sangat bodoh karena berurusan denganku.”

            “Pisauku.” Rayyan menengadahkan tangannya pada Leo. Dengan segera Leo menyerahkan pisau dari dalam koper kepada Rayyan. “Buat dia berdiri.”

Anak buah Rayyan segera mengangkat Johan berdiri, mengapitnya dan memegangnya dengan erat. Johan memelas meminta ampunan, “Saya mohon jangan tuan, kasihanilah saya.”

            “Tidak ada ampunan bagi seorang pengkhianat.” Katanya dingin.

Senyum licik tersungging dari bibir Rayyan yang tipis. Senyuman menakutkan, seperti yang selalu dia tunjukan setiap keadaannya seperti ini. Dia menatap pisaunya yang mengkilap terkena cahaya matahari sore, membuatnya bersemangat untuk menusukkannya pada Johan. Rayyan melempar pisaunya ke udara, lalu menangkapnya kembali dan mengarahkannya pada Johan. Saat pisau itu hampir menyentuh dada Johan, sebuah tangan menahannya dengan keras tepat pada mata pisaunya. Darah segar mengalir dari tangan tersebut, membuat pisau yang tadinya bersih kini berlumuran dengan darah.

Rayyan mengalihkan pandangannya pada seseorang yang menghalanginya, dan matanya terbelalak saat melihat siapa orang tersebut.

            “Anan.”

Cahaya di Kegelapan - PROLOG


Anan berjalan menyusuri jalan gang sempit menuju rumahnya. Hujan gerimis terus turun membasahi kerudung dan jaketnya. Anan masih terus berjalan sambil memeluk tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, dia ingin segera sampai ke rumah agar bisa segera beristirahat karena tubuhnya sudah cukup lelah menjalani seluruh aktivitas di sekolah.

Anan menghentikan langkahnya didekat sebuah lapangan kecil yang sangat sepi, dan sedikit terperangah melihat kejadian di depannya. Anan menatap lelaki berjas hitam yang sedikit berantakan karena sehabis berkelahi. Tangannya memegang sebilah pisau yang berlumuran dengan darah. Pandangannya mengarah pada sosok pria yang sudah terkapar di tanah bersimbah darah karena luka tusukan di beberapa bagian tubuhnya, dan dia mati.

Lelaki tampan itu tidak menyadari kehadiran Anan yang menatapnya dari belakang. Dia kembali menusukan pisaunya kedada pria itu tanpa belas kasihan.

"Rasakan itu!" katanya, sambil mencabut pisau dari dada pria itu. Kemudian dia membalikan tubuhnya dan mata birunya langsung bertatapan dengan Anan yang berdiri di belakangnya.

"Oh... ada orang rupanya." gumam lelaki tampan itu dengan nada terkejut yang di buat-buat. "Sedang apa kau disini?" tanyanya dengan senyuman kejam di sudut bibirnya. Dia bertingkah seperti seekor serigala yang mempermainkan dahulu mangsanya sebelum melahapnya bulat-bulat.

Anan menatap lurus lelaki itu, tak menghiraukan apa yang di katakannya. "Kau membunuhnya?" tanya Anan datar, tidak ada ketakutan yang terbesit di dalam suaranya.

Lelaki itu tersenyum mengangkat kedua bahunya tidak peduli, "Dia pantas mati." jawabnya.

Anan terus menatap lelaki di depannya datar, namun sedikit senyum menyungging di sudut bibirnya. "Darimana kau menyimpulkan bahwa dia pantas mati? Dan kenapa kau membunuhnya?"

Lelaki itu terkekeh lalu balas menatap Anan dengan mata birunya yang tajam dan kejam. "Karena dia sudah tidak berguna lagi di dunia ini," jawabnya, kemudian dia mendesah keras seperti melepaskan seluruh bebannya. "Tadi dia mencoba merampokku dengan pisaunya. Berarti dia juga harus mati dengan pisaunya sendiri. Dia pantas mati bukan?"

Anan terkekeh, pandangannya tidak lepas dari lelaki di depannya. "Dan apakah kau pantas hidup?" tatapannya seketika berubah tajam. "Kau bilang dia pantas mati karena telah mencoba merampokmu. Dan kau sendiri telah membunuhnya, bukan mencoba membunuhnya.  Apakah itu berarti kau pantas hidup?"

Lelaki itu mengangkat alisnya, terkejut dengan apa yang di katakan gadis di depannya. Dia mengamati gadis di depannya dari atas sampai ke bawah. Sangat jauh dari penampilannya yang anggun dan terkesan lemah lembut, dan kerudung yang di gunakannya itu menandakan bahwa dia dari keluarga baik-baik.
Anan menunggu jawaban yang akan di lontarkan lelaki itu. Namun cukup lama, lelaki itu tak bersuara. Dia hanya menatap Anan menilai kemudian tertawa kencang.

Lelaki itu tertawa keras tanpa sebab. Membuat Anan sedikit bingung, namun untung saja dia dapat menyembunyikan kebingungannya.

"Kau sangat pemberani." Seru lelaki itu di sela tawanya.

Anan mengangkat alisnya, "Apa?"

Kemudian lelaki itu menghentikan tawanya lalu tersenyum kepada Anan. "Kau sangat pemberani, gadis manis." ulang lelaki itu. "Tetapi sayangnya aku juga harus menghabisimu, karena aku tidak ingin ada saksi dalam kejadian ini."

Anan tersenyum menatap lelaki di hadapannya, "Lakukan apa yang kau mau selagi kau bisa melakukannya"

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya "Kau tidak takut mati, manis?" lelaki itu mulai berjalan mengelilingi Anan sambil memainkan sebilah pisau yang tadi di gunakannya untuk membunuh pria perampok itu.

"Tidak."

"Wow... kau benar-benar pemberani." lelaki itu menghentikan langkahnya, lalu berdiri di depan Anan sambil menatapnya."Apa yang membuatmu tidak takut mati?"

Anan tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke langit gelap "Karena aku tahu semua yang bernapas pasti akan mati" Dia kembali mengalihkan pandangannya pada lelaki di depannya "Dan kita juga pasti akan mengalaminya."

"Dan kau tahu? Mungkin sekaranglah saatnya untukmu mengalaminya." Lelaki itu tersenyum kejam, matanya menelusuri setiap inchi tubuh Anan seakan menerka bagian tubuh mana yang akan di lukainya.

"Mungkin." Anan menghela napas, "Hanya Allah yang tahu kapan aku harus mati, dan hanya Dialah yang memutuskan."

"Baiklah kalau begitu. Kau ingin aku melukaimu dimana gadis manis? Aku sarankan di tempat yang membuatmu bisa langsung mati, sehingga kau tidak akan merasakan rasa sakit terlalu lama." Lelaki itu mendekatkan pisaunya pada wajah Anan. Anan tidak bereaksi sama sekali, tidak ada ketakutan di matanya yang coklat bening, dan wajahnya pun tidak pucat seperti orang yang ketakutan.

"Apa yang kau lihat?" tanya lelaki itu penasaran dengan sikap Anan yang terus memandangi wajahnya.

"Kau terluka."

"Apa?" lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Kemudian dia seolah tersadar lalu mengusap keningnya. Ada sebuah luka goresan kecil di keningnya sehingga keningnya sedikit kotor oleh darah. "Hanya luka kecil. Bahkan sangat kecil bagiku."

Anan mengeluarkan sebuah plester dari dalam  saku seragam sekolahnya yang selalu dibawanya kemana pun dia pergi. Anan menyodorkan plesternya pada lelaki itu.

"Ini bisa kau gunakan untuk menutupi luka di keningmu. Aku lihat lukanya tidak terlalu lebar dan tidak dalam jadi bisa di tutupi dengan ini." Anan menggoyangkan tangannya agar lelaki itu mau menerima plester yang di berikannya.

Lelaki itu mengerutkan keningnya, menatap Anan heran. Tapi lelaki itu menerima plester pemberian Anan.

"Dan luka di lengan kirimu juga harus segera di balut agar darahnya tidak terus keluar. Kau bisa tidak sadarkan diri karena kehabisan darah." Anan mengeluarkan sebuah kain warna putih berbentuk segitiga dari saku rok sekolahnya. Dia melipat kain itu menjadi lipatan panjang.

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya lelaki itu bingung dengan yang dilakukan Anan.

"Membalut lukamu." jawabnya tanpa menatap lelaki itu. "Sini lenganmu!" Anan mengulurkan tangannya kearah lelaki itu yang menatapnya kebingungan. Lelaki itu mengulurkan tangannya kearah Anan.

"Oh ya... lepaskan dahulu jas yang kau pakai!"

Lelaki itu menuruti apa yang diperintahkan Anan kepadanya seolah terhipnotis oleh perkataannya. Lelaki itu melepas jasnya dan memegangnya di tangan kanannya. Anan segera membalut luka lelaki itu. Lelaki itu terus memperhatikan gerakan Anan yang begitu ahli. Ada sedikit rasa kagum di mata birunya. Lelaki itu meringis ketika Anan menarik kainnya untuk diikat.

"Maaf." Anan merapikan ikatannya lalu menjauhkan tubuhnya dari lelaki itu.

Lelaki itu menatap hasil balutan Anan di tangannya. Dia mengangkat bahunya lalu tersenyum kepada Anan, "Lumayan" katanya. Kemudian dia mengerutkan keningnya "Sepertinya aku berubah pikiran."

Anan mengangkat alisnya "Maksudmu?"

Lelaki itu tersenyum "Aku membatalkan rencanaku untuk menghabisimu. "

"Kenapa?" tanya Anan datar, wajahnya tetap dingin.

"Karena kau masih pantas hidup."

"Siapa namamu?" tanya lelaki itu.

Anan menatap lelaki itu curiga.

"Kau pasti memiliki nama bukan?" tambahnya.

Anan terdiam menatap lelaki itu, tidak ada jawaban darinya selama beberapa saat. Sehingga membuat lelaki itu mengangkat bahunya.

"Jika kau tidak ingin mengatakan namamu, tidak apa. Aku bisa mencari tahunya sendiri." katanya, "Dan itu berarti aku harus......"

"Anan." ucap Anan memotong lelaki itu, "Namaku Anandia Nasri"

Lelaki itu tersenyum, merasa puas atas jawaban Anan. Dia menatap Anan lekat, "Dan namaku Rayyan Calief. Kau bisa memanggilku Rayyan."

Rayyan menghembuskan napas panjang. "Aku harus pergi, Anan" Dia menegakkan tubuhnya, lalu menatap Anan tepat di matanya. Mata coklat itu balik menatap matanya yang biru. "Sampai bertemu lagi. Dan saat kita bertemu lagi nanti, aku akan pastikan semuanya berubah." ucapan itu bagaikan sebuah janji dari kegelapan yang pasti akan terjadi. Hingga terngiang di telinganya dan menembus hatinya yang membuatnya terperanjat dan bangun dari tidurnya.

Anan terduduk di atas tempat tidurnya, napasnya sedikit terengah dan memburu.

Kenapa kejadian itu terus muncul di mimpinya?

Sudah satu minggu ini Anan terus memimpikan kejadian yang dialaminya minggu lalu. Dia tidak tahu kenapa kejadian itu terus muncul di mimpinya. Padahal dia sudah berusaha melupakan kejadian itu. Apa mungkin kata-kata Rayyan yang membuatnya selalu memimpikan kejadian itu? Memang apa yang akan berubah dari semuanya? Dia saja belum tentu akan bertemu lagi dengannya.Semua ini membuatnya bingung dan frustasi. Anan menggaruk kepalanya bingung.

"Rayyan Calief?" gumamnya pelan, "Siapa dia?"

Cahaya di Kegelapan


Cahaya di Kegelapan
(Shee Aquila)
Genre: Roman

Rayyan Calief tidak berpikir bahwa dia bisa terobsesi kepada seorang gadis yang hampir dibunuhnya pada malam itu. Seorang gadis berjilbab yang berani menatapnya dengan angkuh dan tanpa ketakutan. Gadis itulah yang membuatnya merasa tertarik untuk pertama kalinya karena sebuah pertolongan kecil. Seharusnya dia menyadari sejak awal, bahwa perasaan itulah yang membuat kehidupannya berubah seketika.

Dia bukanlah orang yang putih, bersih. Dia adalah seorang penjahat berdarah dingin yang kalah oleh cinta kepada seorang gadis biasa.